Halaman

Minggu, 26 Desember 2010

Mulai pudarnya pancasila


Mulai pudarnya pancasila

Baru kemarin kita merayakan 64 tahun lahirnya Pancasila. Ironisnya, Indonesia belum kunjung keluar dari jeratan krisis multifaset. Akar penyebabnya karena putra-putri Ibu Pertiwi cenderung melupakan jati diri bangsa tersebut. Para pedagang asing begitu leluasa menjajakan ideologi impor dari pelbagai penjuru dunia.

Secara ekstrim ada dua arus utama (mainstreams ). Pertama, Neowahabiisme dengan agenda terselubung "Talibanisasi". Memainkan sentimen keagamaan yang sejatinya bersifat amat pribadi dan tak tepat bila diangkat ke ranah publik. Turunannya berupa a.l: UU Pornografi, RUU Jaminan Produk Halal, dan RUU Zakat yang sedang dibahas Komisi VIII dan segera disahkan oleh DPR RI jelang Pilpres. Kedua, Neoliberalisme, istilah yang saat ini begitu populer, pembangunan "rumah kartu" struktur ekonomi di atas tumpukan utang. Dengan demikian, tingkat ketergantungan terhadap lembaga donor begitu tinggi. Akibatnya, pelbagai produk kebijakan publik lebih menghamba kepada pasar bebas. Data terkini dari Koalisi Anti Utang (KAU) menyebutkan setiap bayi yang terlahir di bumi Nusantara tercinta ini mewarisi hutang sebesar Rp 7,7 juta.

Obat mujarab bagi sembelit di atas ialah dengan kembali ke cita-cita awal para bapa bangsa (founding fathers) dan Pancasila. Tapi dengan catatan khusus, yakni dengan me-fungky-kan alias membuatnya lebih populis dan gaul.  Sebab, kaum muda - yang notabene merupakan generasi penerus  - perlu mengkaji, mengapresiasi, serta melakoni kembali falsafah warisan leluhur kita tersebut. Tentu sesuai dengan konteks zaman modern di abad ke-21 ini.

Pertanyaan utama yang mengemuka tatkala sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berlangsung ialah, "Apakah dasar bagi negara Indonesia Merdeka?" Lantas tepat pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno berpidato tanpa teks dan seluruh peserta yang hadir bertepuk tangan gegap-gempita menyambutnya.

Putra Sang Fajar mengajukan landasan filosofis (filosofische grondslag) bagi cikal-bakal Republik Indonesia, walau sederhana tapi amat mendalam sekaligus universal, yakni (1) Ketuhanan (2) Kemanusiaan (3) Kebangsaan (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial.

Pendiri Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara dalam pelbagai tulisan-tulisannya acapkali menyebut Pancasila sebagai saripati budaya bangsa, yakni kompilasi puncak-puncak kearifan lokal yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Apakah itu? kiranya ialah praksis gotong-royong yang begitu mengakar kuat dalam pelbagai sendi kehidupan bermasyarakat. Terutama di dusun – dusun kecil.
Ironisnya, semangat kolektifitas tersebut terabaikan. Pancasila justru dipolitisir oleh para rezim penindas untuk melanggengkan kekuasaan yang sentralistik dan korup. Pada era orde lama, turunannya berupa 7 bahan pokok indokrinasi. Lalu pada masa orde baru, terjadi pula - meminjam istilah Romo Mangun - "Persatean" pola pikir lewat penataran  P4 secara masif dan terorganisir
Padahal sejatinya Pancasila merupakan falsafah hidup yang dinamis. Ia membuka diri terhadap pelbagai penafsiran makna. Asal masih dalam koridor keutuhan NKRI dan spirit Bhinneka Tunggal Ika - Berbeda tapi tetap Satu.

0 komentar:

Posting Komentar